Ambon,Tikmalukunews.com- pembentukan Kementerian Haji dan Umrah yang semula dirancang sebagai Badan Penyelenggara Haji, kini telah resmi ditetapkan sebagai kementerian melalui persetujuan DPR RI dalam rapat paripurna pada 30 September 2025 lalu. Hal ini disampaikan oleh anggota Komisi VIII DPR RI dari Dapil Maluku, Alimudin Kolatlena, dalam agenda temu sapa dengan masyarakat dan stakeholder haji di Ambon.
Dalam penjelasannya, Alimudin menegaskan bahwa Komisi VIII memiliki peran sentral dalam proses peralihan tersebut, termasuk dalam penetapan kebijakan strategis seperti efisiensi biaya haji, penataan ulang kuota, serta penyeragaman masa tunggu calon jamaah haji.
“Pak Prabowo menaruh perhatian besar agar biaya haji bisa ditekan seminimal mungkin. Tahun lalu dari Rp93 juta ditekan jadi Rp89 juta. Ke depan, kementerian baru ini ditargetkan mampu mengefisiensikan lebih banyak lagi,” ungkapnya.
Kementerian Haji dan Umrah Gantikan Fungsi Kemenag
Alimudin menjelaskan bahwa dengan lahirnya Kementerian Haji dan Umrah, maka seluruh urusan haji yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Agama, kini secara bertahap akan dialihkan. Namun demikian, hingga saat ini sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur pelaksana haji di daerah masih berada di bawah koordinasi Kemenag.
“Awalnya kita kira otomatis seluruh bidang haji dan umrah di Kanwil Kemenag akan pindah ke struktur kementerian baru. Tapi ternyata ada banyak pertimbangan. Pemisahan ini masih dalam tahap transisi,” jelasnya.
Ia menambahkan, Komisi VIII DPR RI bersama Kementerian Haji dan Umrah tengah mendorong agar proses pemisahan ini segera diselesaikan, guna menghindari tarik-menarik kewenangan dan memastikan kepastian kerja bagi ASN yang bertugas di bidang tersebut.
Masa Tunggu Disamaratakan, Banyak Daerah Berpotensi Dirugikan
Isu yang menjadi sorotan hangat dalam rapat Komisi VIII adalah rencana penerapan penyeragaman masa tunggu haji menjadi 26 tahun di seluruh Indonesia. Langkah ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mendorong prinsip keadilan dan kesetaraan bagi seluruh umat Islam di Tanah Air.
Namun, rencana ini dinilai bisa menimbulkan gejolak. Sebab, jika diterapkan pada tahun 2026, maka akan ada sekitar 20 provinsi yang mengalami perpanjangan masa tunggu dan pengurangan kuota haji, termasuk Provinsi Maluku.
“Bayangkan, jamaah haji dari Maluku yang tadinya punya masa tunggu 15 tahun, bisa naik jadi 26 tahun. Sementara daerah seperti Sulawesi Selatan yang masa tunggunya 36 tahun, justru turun. Ini yang membuat situasinya jadi ‘panas dingin’,” kata Alimudin.
Ia mengungkapkan, dalam rapat bersama Kementerian Haji dan Umrah, pihak kementerian mengakui bahwa kebijakan ini berpotensi tidak populer, namun tetap ingin taat pada undang-undang.
“Menteri dan wakil menterinya bilang mereka siap dimarahi rakyat karena kebijakan ini tidak populis. Tapi kita tekankan, ini juga bisa berdampak pada citra pemerintah pusat, apalagi Pak Presiden Prabowo adalah inisiator kementerian ini,” ujarnya.
Komisi VIII Belum Setujui Penuh, Sarankan Sosialisasi
Mengingat besarnya dampak kebijakan tersebut, Komisi VIII DPR RI belum menyetujui secara penuh usulan Kementerian Haji dan Umrah. Alimudin menyampaikan bahwa mayoritas anggota Komisi VIII meminta agar rencana ini tidak langsung diberlakukan pada 2026, melainkan disosialisasikan terlebih dahulu secara masif kepada masyarakat.
> “Kami menyarankan agar pemerintah melakukan sosialisasi nasional, agar masyarakat calon jamaah tahu bahwa ini amanat undang-undang, dan bukan kebijakan sepihak,” tegasnya.
Komisi VIII juga memanfaatkan masa reses untuk menyerap aspirasi langsung dari masyarakat, termasuk para tokoh agama, calon jamaah haji, dan pengelola haji di daerah. Pendapat-pendapat ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan akhir di Senayan.
Selain soal masa tunggu dan kuota, Alimudin juga menyoroti pentingnya kepastian hukum dan tugas kerja bagi ASN di bidang haji dan umrah, seiring proses pemisahan antara Kemenag dan Kementerian Haji.
“Ini bukan soal siapa yang menjabat, tapi soal apakah orang itu punya loyalitas, dedikasi, dan kompetensi untuk mengurus urusan haji yang sangat penting ini,” ujarnya menutup.
Dengan berbagai dinamika tersebut, Komisi VIII DPR RI berkomitmen untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan haji—baik pembentukan kementerian, efisiensi biaya, hingga distribusi kuota dan masa tunggu—tetap berpihak pada prinsip keadilan dan kepastian bagi seluruh umat Muslim Indonesia.(TMN-01)












